Jika Anda memang butuh ucapan “maaf” darinya setelah sekian lama,
Maka dengan sikapnya yang
menerima Anda
Untuk yang kedua adalah bentuk
permintaan maaf darinya. Jika memang hal
Itu belum dianggap cukup,
Lalu kenapa Anda tidak balik
mencelanya
Atas ucapan yang pernah
dilontarkannya.
Dengan demikian, kedudukannya
menjadi seri
agar kebahagian rumah tangga
kalian tetap langgeng?
Aku
seorang pria berumur 30 tahun. Kisahku ini dimulai setelah lulus bangku kuliah
dan diangkat menjadi guru di salah satu sekolah yang ada d provinsi Al-Giza,
serta ketika aku mulai membangun masa depan.
Saat
itu, tiba-tiba pandanganku tertuju kepada seorang gadis cantik dengan postur
tubuh semampai hingga hingga membuat hatiku berdetak keras. Kemudian aku
bertanya perihal dirinya dan sangat gembira ketika mengetahui bahwa kakakku
mengenal keluarganya.segera saja ia membuat janji dengan ayahnya dan
menemanikan menghadap orang tuanya dengan tujuan perkenalan pertama. Orang tua
gadis itu kemudian menyambut kami dengan hangat, dan kami saling bertukar
cerita.tidak lama kemudian, sang gadis keluar menemui kami hingga menbuat
hatiku berdegup kencang sampai aku khawatir seandainya ada orang yang
mendengarnya.
Selang
beberapa waktu kebersamaan kami, ayahnya dan saudaranya beranjak ke ruang
tengah yang mungkin saja untuk memberikan kesempatan kepada kami agar saling
bertukar fikiran. Selama beberapa saat kemudian, akhirnya mereka berdua
kembali. Sebelum mereka datang, gadis tersebut bangkit dengan sikap kurang baik.
Ia menganggap rendah aku dengan meninggalkan ruangan sembari berkata kepada
ayahnya di hadapan kami, “ Gerangan siapakah yang ayah hadirkan di hadapanku
ini ?” ungkapan yang menyakitkan itu meluncur keteliga kami layaknya petir yang
datang menyambar. Sang ayah merasa malu dan berusaha menghindari kami, namun
aku telah tenggelam dalam perasaan malu.
Yang
lebih menyakitkan, aku mendengar dari arah ruang tengah cekikikan suara tawa
saudara-saudari gadis itu yang lain. Aku berani bertaruh, gadis itu mencerikan
kepada mereka apa yang terjadi dan mengatakan bahwa ayahnya telah mendatangkan
pria yang tidak memiliki apa-apa. Parahnya lagi, kulitku yang gelap membuat
mereka tertawa berbarengan. Saat itu, aku berharap seandainya saja bumi
terbelah dan menelan diriku. Dengan susah payah aku berusaha menahan diri dan
pergi meninggalkan rumah tersebut dengan langkah yang berat.
Kenati
demikian, aku tetap bersikeras mengetahui sebab penolakan tersebut. Kemudian
aku meminta saudaraku untuk menanyakan hal tersebut kepada ayah sang gadis.
Ternyata apa yang kubayngkan tidak meleset, ia menolakku hanya karena warna
kulit dan keadaan kami yang sangat lemah. Saudaraku kemudian berusaha
menenangkanku dengan mengatakan bahwa masih banyak wanita lain dan aku pasti
akan mendapatkannya..dan seterusnya. Aku mengeleng-gelengkan kepala untuk lebih
meyakinkannya. Lalu aku masuk dalam kamar dan menutup pintu agar lebih puas
menangisi diri. Aku merasa kehormatannku telah dinjak-injak dan dipermalukan
oleh seorang gadis, padahal yang kuharapkan darinya hanyalah kebaikan.
Setelah
itu, aku bersikap apatis terhadap kejadian itu dan berusaha melupakan ucapan
gadis tersebut dengan segala cara agar sakit hati ini terobati. Selang beberapa
bulan, aku mendapat kesempatan kerja di salah satu negara Arab. Kemudian aku
berangkat dan sibuk dalam kehidupan yang baru. Aku tenggelam dalam dunia kerja
selama 5 tahun. Dalam rentang waktu tersebut, aku mendapat berita dari
saudaraku bahwa gadis itu telah dilamar 2 kali namun gagal karena sebab-sebab
yang tidak diketahui.
Setelah
masa kontrak kerjaku di luar negara selesai, aku kembali ke keluarga dengan
kondisi ekonomi yang sudah mapan hingga kami bisa mengontrak sebuah flat. Aku
kemudian mulai memikirkan belahan jiwa, sebab sebagian umurku telah dimakan habis
oleh zaman. Tiba-tiba saja saudariku menyarankanku untuk maju dan meminang
gadis yang sebelumnya menolakku karena samapai sekarang ia masih sendiri, dan
ia pasti akan menyambut baik kedatanganku.
Aku
sempat sempat bimbang dengan usulan ini, namun aku coba berpikir dan bertanya
kepada diri sendiri, kenapa tidak aku lakukan saja? Bukankah kondisi ekonomiku
sudah mapan dan sudah tidak lagi halangan yang merintangiku untuk
mendapatkannya.
Kami
kemudian memutuskan untuk berkunjung ke rumah gadis tersebut. Sesampainya
disana, sang gadis menemui kami di ruang tamu, tetapi hatiku tidka berdegup
kencang seperti dulu. Yang kuliat, rona wajahnya telah berubah dan segala
kecongkakannya yang dahulu telah hilang, sehingga aku merasa telah menang dan
berfikir kenapa tidak aku nikahi saja dan membalas penghinaan yang pernah ia
lakukan kepadaku dahulu?
Dengan
sungguh-sungguh aku berniat bisa sukses hingga proses lamaran selesai,
sementara aku snediri tidak tahu apakah akan bahagia hidup dengan gadis itu.
yang jelas, aku bahagia karena dapat menundukkan dirinya. Kami terus maju untuk
mempersiapkan pernikahan, sedangkan yang aku pikirkan adalah bagaimana
mendiktekan syarat-syarat kepada calon istri. Dalam benak ini, aku berniat
untuk memaksanya setelah menikah agar dia tidak mengunjungi keluarganya kecuali
jika aku mau dan tidak meninggalkan rumah kecuali dengan mengantongi izinku
yang dilakukan dengan memelas dan seterusnya.
Setelah
menikah aku, memperlakukannya seperti biasa dan tidak menampakkan sikap manja
terhadap dirinya. Pada minggu-minggu pertama, aku sengaja keluar bersama
saudaraku dan istrinya dengan meninggalkannya sendirian di rumah. Namun
anehnya, iatidak memberontak dan tidak mencela perlakuanku itu. karena itu, aku
terus menperlakukannya seperti itu. hingga suatu hari, aku dikejutkan oleh
keluhan sakitnya dan memintaku untuk mengontrolkannya ke dokter. Di sore hari,
aku menemaninya ke dokter. Setelah dokter memeriksanya, ia tersenyum dan
memberi selamat kepadaku atas kehamilan istriku
dan memintanya untuk beristirahat serta minum obat.
Kami
pun kemudian beranjak meninggalkan klinik, sedangkan pikiranku berkecamuk
antara perasaan senang dan gelisah. Aku telah berniat untuk mengobati perassan
dendamku sebelum ia menjadi ibu dari anakku. Aku dituntut untuk menjaganya agar
ia bisa menjaga jabang bayi yang bakal lahir. Permasalahannya, sakit hati yang
aku alami tidak kunjung reda karena penghinaan yang dilontarkannya terhadap
diri ini yang berkulit hitam dan ketidaksiapanku secara materi.
Apakah
aku harus melupakan kesepian dan kepedihan yang aku alami dan berhenti
memperlalukannya dengan buruk atau aku lepaskan dengan cara baik-baik dan
membiarkannya seperti sekarang agar dendam yang membara dalam hati menjadi
redup?
Referensi:
Muthawi Wahab Abdul. 2005.
Bunga yang Hilang. Jakarta: Najla Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar