Salam Hidup Penuh Berkah

Jumat, 18 April 2014

SEJARAH PEMBUKUAN HADITS



PEMBAHASAN
SEJARAH PEMBUKUAN HADITS
A.  Kodifikasi Hadis
Kendati terbuka peluang untuk membukukan hadis, tetapi dalam fakta sejarah, di mana sahabat belum ada kegiatan pembukuan hadis secara resmi, di prakarsai oleh pemerintah. Umar bin khattab misalnya, pernah berfikir membukukan hadis. Ia meminta pendapat para sahabat, dan disarankan untuk membukukannya. Tetapi, setelah Umar beristikharah sebulan lamanya, ia membatalkan rencana itu dengan katanya, “Saya tadinya ingin menulis sunnah-sunnah, kemudian saya teringat kaum terdahulu yang menulis buku-buku, sibuk dengannya dan meninggalkan Kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukan Kitab Allah dengan apa pun.”
Kekuatan hafalan bangsa Arab yang begitu kuat sungguh menunjang periwayatan hadis secara lisan, apalagi Nabi mendorong untuk itu.
Memasuki periode tabi’in sebenarnya kekhawatiran membukukan/kodifikasi hadis sebagai yang dirasakan pada periode sahabat tidak perlu terjadi. Justru pada periode tabi’in telah bertabur hadis-hadis palsu. Hadis palsu mulai bermunculan setelah ummat islam terpecah menjadi golongan-golongan, yang mulanya berorientasi politik, berubah menjadi paham keagamaan, seperti, Khawarij, Syi’ah, Murjiah, dan lain-lain. Perpecahan itu terjadi sesaat setelah peristiwa takhim (antara pihak Ali dengan pihak Muawiyah) yang merupakan rentetan peristiwa yang berasal dari terbunuhnya Khalifah III, Usaman ra. Untuk mengukuhkan eksistensi masing-masing golongan, mereka merasa perlu mencipta hadis palsu.
Agaknya, munculnya hadis-hadis palsu merupakan alasan yang amat kuat untuk mengadakan kodifikasi hadis. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan Al-Zuhri,  Sekiranya tidak

 ada hadis yang datang dari arah timur yang asing bagi saya, niscaya saya tidak menulis hadis, dan tidak pula mengizinkan orang menulis.
Kalau tidak ssegera diambil tindakan dengan kodifikasi hadis, semakin banyaknya hadis palsu  bercampur hadis asli, semakin sulit diketahui mana yang palsu dan mana yang asli di belakang hari. Maka, kodifikasi hadis itu lebih maslahat dari pada membiarkannya terbengkalai.
Pada periode tabi’in wilayah Islam sudah demikian luas, meliputi Jazirah Arab, Siria, Palestina, Yordania, Libanon, seluruh kawasan Irak, Mesir, Persia, dan kawasan Samarkand. Perluasan daerah itu diikuti dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran Islam di daerah-daerah, termasuk di dalamnya ulama hadis. Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu sendiri. Tidak tertutup kemungkinan, suatu hadis yang tersiar di suatu daerah tidak tersiar di daerah lain. Ketidakmerataan hadis ke seluruh wilayah Islam mengundang perbedaan keagamaan. Salah satu hal yang menyebabkan perbedaan keputusan fikih antara ulama Hijaz dan Irak adalah karena hadis yang tidak merata ini. Maka, kondisi ini sebagai alasan untuk kodifikasi hadis seperti yang dikemukakan oleh Jamaluddin al-Qasimi, dapat dimengerti.
Umar bin Abd al-Aziz ketika menyuruh kodifikasi hadis beralasan, khawatir semakin menipisnya jumlah ulama seiring dengan membesarnya semangat masyarakat Islam Belajar ilmu agama. Beliau menulis surat kepada Abu Bakar ibn Hazm, “Lihatlah hadis dari Rasulullah saw, lalu tulislah, sungguh saya takut lenyapnya ilmu bersama meninggalnya para ulama. Jangan engkau terima selain dari Rasulullah saw. hendaknya engkau tebarkan ilmu dan adakan majlis-majlis supaya orang yang tadinya tidak berilmu menjadi berilmu. ilmu itu tidak akan lenyap hingga dijadikan sebagai barang rahasia.”
Menurut  Muhammad al-Zafzaf, kodifikasi hadis ketika itu dilakukan karena;

1.      Para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis akan menghilang bersama wafat mereka. Sementara, generasi  penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian memelihara hadis.
2.      Banyak berita yang diada-adakan oleh kaum mubtadi’ (tukang bid’ah) seperti, Khawarij, Rafidhah, Syi’ah, dan lain-lain.
Dimaksud dengan kodifikasi hadis secara resmi ialah kodifikasi atas prakarsa penguasa (Khalifah atau Gubernur). Kini hadis telah dikodifikasi. Masalahnya, sejak kapan, dan atas prakarsa siapa?
Para sarjana hadis seperti, ‘Ajjaj al-Khathib, Musthafa Husni al-Siba’i, Muhammad jamaluddin al-Qasimi, Nu’man abd al-Mu’tal, Muhammad al-Zafzaf, dan laian-lain, menemukan dokumen yang bersumber dari Imam malik bin Anas bahwa kodifikasi hadis yang dimaksud adalah atas prakarsa khalifah Umar bin Abd al-Aziz (99-101). Ulama yang disebut-sebut mendapat tugas untuk keperluan ini adalah Ibn Syihab al-Zuhri dan Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazm. Bukan hanya kepada mereka berdua khalifah menugasi, tetapi juga kepada ulama-ulama lain di berbagai penjuru untuk kodifikasi semua hadis Nabi saw.
Rasyid Ridha berpendapat, boleh jadi orang yang pertama menulis hadis dari kalangan tabi’in abad pertama hijriyyah dalam bentuk koleksi adalah Khalid bin Mi’dan al-Himshi (w. 103 atau 104 H). Konon, ia sempat bertemu kurang dari tujuh puluh orang sahabat. Sungguh pun demikian, Ridha mengakui bahwa pendapat yang masyhur adalah bahwa orang yang pertama membukukan hadis adalah Ibn Syihab al-Zuhri atas perintah Umar bin Abd al-Aziz.
Ada yang menyangkal pendapat umum di atas dengan alasan,
1.      Masa pemerintahan Umar bin Abd al-Aziz amat pendek.
2.      Tidak ada seorang perawi pun yang meriwayatkan kejadian itu.

3.      Sekiranya benar bahwa kodifikasi telah dilakukan di masa itu, niscaya tidak muncul isu bahwa hadis dibukukan pada pertengahan abad kedua. ini pendapat sayyid Hasan al-Shadr (1272-1354 H), seorang terkemuka dari golongan Syia’ah.
Juga dengan menyebutkan “masa pemerintahan Ibn Abd al-Aziz itu amat singkat,” Ahmad Amin mempertanyakan, apakah perintah khalifah tersebut sempat dilaksankan. Sebab, tidak ada berita yang sampai kepadanya tentang kumpulan hadis yang dikerjakan tersebut. Kelihatannya Ahmad Amin tidak menyangkal bahwa Ibn Abd al-Aziz telah memprakarsai kodifikasi. Tetapi ia tidak yakin bahwa perintahnya telah dilaksanakan seluruhnya. Amin juga mengutip pengadaian orientalis, andai kata kodifikasi itu benar dilaksanakan, niscaya ia akan menjadi bahan rujukan untuk pembukuan hadis-hadis masa berikutnya, dan tidak hilang begitu saja.
Menurut al-Khathib, singkatnya masa pemerintahan Umar Ibn Abd al-Aziz tidaklah menafikan kesediaan para ulama membukukan hadis sebagai tugas yang diberikan oleh Khilafah. Adapun ungkapan bahwa tidak seorang pun meriwayatkan peristiwa ini dipandang bertentangan dengan kenyataan. Karena, kata al-Khathib, banyak orang yang meriwayatkan peristiwa ini, seperti suatu riwayat dari Ibn ‘Abdil Barr menyebutkan, Ibn Syihab al-Zuhri telah menulis hadis di banyak buku, kemudian Khalifah mengirimkannya ke berbagai daerah, masing-masing satu buku. Riwayat ini dikutip dari Jami’ Bayan al-‘ilm wa fadhilih, karya Ibn Abdil Barr.
Pada sisi lain, sungguh pun al-Khatib sependapat dengan pendapat umum, tetapi ia masih mencoba membuka kemungkinan lain. Ia mengemukakan riwayat tentang kodifikasi resmi atas prakarsa Abd al-Aziz Ibn Marwan, Gubernur Mesir (65-85 H). Menurut keterangan dari al-Laits bin Sa’ad, Abd al-Aziz bin Marwan menyuruh katsir bin Murrah. Seorang tabi’in yang

sempat berjumpa dengan tujuh puluhan “sahabat Badr” di Hims,untuk menulis hadis-hadis Nabi, kecuali hadis riwayat Abu Hurairah, karena hadis ini sudah ada padanya.
Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, apabila keterangan ini dapat dipertanggungjawabkan, maka dapat disimpulkan bahwa kodifikasi hadis secara resmi dimulai pada masa Abd al-Aziz bin Marwan menjabat Gubernur di Mesir, periode lebih awal dari masa pemerintahan Umar bin Abd al-Aziz. Namum demikian, Dr. Syuhudi Ismail menulis bahwa pendapat al-Khatib ini mengandung kelemahan karena,
1.      Jabatan Abd al-Aziz bukan kelapa negara.
2.      Surat permintaan penulisan hadis ditujukan kepada para ulama di luar Mesir. Dengan demikian, permintaan itu bukan dalam hubungan kedinasan. Sehingga ada kesan, surat permintaan itu lebih bersifat pribadi. Kendati demikian, diakui juga bahwa besar kemungkinan upaya Abdul Aziz bin Marwan telah memberi inspirasi kepada Umar ibn Abd al-Aziz bin Marwan telah memberi inspirasi kepada Umar ibn Abd al-Aziz selaku kepala negara memerintahakan ulamanya menulis dan membukukan hadis secara resmi.
Menurut al-Siba’i, Abu Bakr Ibn Hazm, Gubernur Mesir masa Umar ibn Abdul Aziz, menulis hadis hanya yang berasal dari Amrah dan Al-Qasim. Adapun yang “ menyelamatkan hadis-hadis lain adalah al-Zuhri. Ada tujuh puluhan hadis yang diriwayatkan Zuhri tetapi tidak oleh ulama lain. Begitu besarnya jasa al-Zuhri sehingga ulama yang semasa mengatakan, “seandainya tidak ada al-Zuhri niscaya hadis itu akan sirna.
Munculnya kitab-kitab al-mushannaf, yang keterangannya akan kita ikuti nanti, menggambarkan bahwa gerakan pembukukan hadis mendapat sambutan hangat dari para ulama. Di antara sekian banyak kitab hadis yang di tulis, hanya kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik

 yang sampai kepada kita sekarang. Pada umumnya kitab hadis itu ditulis pada awal abad ke-2 H. Sementara, Muwatttha’ ditulis oleh Imam Malik pada pertengahan abad kedua. Karena kitab tertua yang sampai kepada kita itu produk abad ke-2, maka tidak mengherankan kalau timbul kesan bahwa kitab hadis dibukukan pada abad ke-2. Bagi orientalis, angka abad tersebut besar sekali artinya. Dengan mengabaikan kegiatan kodifikasi hadis di masa Umar ibn Abdul Aziz dan catatan hadis, baik yang dilakukan oleh para sahabat maupun para ulama generasi berikutnya, mereka mengatakan, ada tenggang waktu yang amat panjang antara masa keluarnya hadis (masa hadis) dengan masa pembukuannya (al-Muwattha’). Dengan teori sejarah mereka, otentisitas hadis dalam kitab al-Muwattha’ dan dalam kitab-kitab sesudahnya mereka ragukan.














B.  Corak Penyusunan Kitab-kitab Hadis dan Kronologinya
Perintah Umar ibn Abdul Aziz kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar Muhammad ibn’Amr ibn Hazm untuk membukukan hadis, yang pelaksanaannya, ditangani oleh Ibn Syihab al-Zuhri, rupanya telah berhasil membangkitkan minat para ulama untuk semakin meningkatkan usaha tersebut. Dengan dukungan para penguasa, gerakan ini semakin meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas, terutama di abad kedua Hijriyah, dan mencapai masa suburnya pada abad ketiga, ditandai dengan munculnya kitab-kitab induk, yang kemudian dikenal dengan kutub al-Sittah.
Pada awal penyusunan hadis dalam kitab, hadis-hadis Nabi tidak dipisahkan dari fatwa para Sahabat dan tabi’in, tidak pula diadakan pemilihan bab-bab tertentu. Selanjutnya penyusunan hadis sebagai yang akan kita lihat nanti, dilakukan dengan sistem dan teknik yang lebih canggih, belum pernah dilakukan sebelumnya.
a.      Al-Mushannaf (abad ke-2 H)
Jauh sebelum al-Bukhari menluncurkan kitabnya untuk mengisi khazanah intelektual muslim, para ulama telah menyusun kitab-kitab hadis dengan memuat bab-bab tertentu. Lazimya, kitab semacam ini disebut al-Mushannaf,al-Jami’, atau  al-Majmu’. Penulisan kitab semacam ini merupakan pengalaman pertama bagi umat islam. Kegiatan ini juga merupakan kebanggaan tersendiri dalam rangka melestarikan ajaran Islam secara keseluruhan. Mereka sadar bahwa kitab ini juga tidak boleh bercampur dengan Al-Quran. Dalam hal ini, yang mereka pentingkan adalah bagaimana merekam ajaran islam yang tidak dimuat di dalam Al-Quran sudah barang tentu bahwa wujud ajaran islam bukan hanya yang diajarkan oleh Nabi saja. Interpretasi terhadap ajaran beliau pun masuk di dalamnya, bahkan, hasil ijtihad para sahabat beliau. Karena itu, fatwa-fatwa sahabat banyak masuk di dalamnya. Dengan kata lain, kitab ini merupakan

catatan hadis, fikih aqidah dan lain-lain. Pada periode berikutnya kelak, ulama Islam memisahkan mana yang hadis dan mana yang bukan. Maka tidak mengherankan kalau kitab karya Imam Malik disebut kitab Fiqh yang bermuatan hadis, atau kitab hadis yang bermuatan fiqh. Kitab al-Mushannaf terdapat di seluruh kota besar Islam waktu itu.
b.      Al-Musnad (abad ke-2 – 3 H)
Pada perkembangan selanjutnya, agaknya telah muncul persoalan baru yang berkaitan dengan perbedaan nilai hadis Nabi dari fatwa para Sahabat dan Tabi’in. Periode ini ditandai dengan adanya pemilahan antara riwayat-riwayat yang bersambung pada nabi dari fatwa Sahabat dan Tabi’an. Dengan mencabut fatwa Sahabat dan Tabi’in, tersusunlah kitab-kitab yang berisi kumpulan hadis nabi yang diriwayatkan para Sahabat saja. Kitab jenis ini kemudian dikenal dengan kitab al-Musnad. Ciri utama kitab jenis ini adalah bahwa penyusunannya didasarkan atas nama Sahabat yang meriwayatkannya. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dikelompokkan menjadi satu, kemudian hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dan seterusnya.
Gerakan ini muncul pada akhir abad kedua atau awal abad ketiga, dipelopori oleh Abu Daud Sulaiman ibn al-Jarad al-Thayalisi (133-204 H), bukan Abu Daud al-Sijistani. Tokoh inilah yang disebut-sebut sebagai orang pertama menyusun al-Musanad. Sebagaimana halnya dengan al-Mushannaf, begitu dirintis jalannya, gerakan ini segera tumbuh dengan suburnya serta disambut baik oleh para ulama pada masa itu. Karena itu muncullah kitab-kitab al-Musnad yang disusun antara lain oleh;
? Asas ibn Musa al-Amawi (w. 212 H).
? Ubaidullah ibn Musa al-Abbasi (w. 213 H).
? Musaddad al-Bashri (w. 224 H).

? Yahya ibn Abdul Hamid al-Hamani al-Kufi.
? al-Syafi’i (150-240 H).
? Ahmad ibn Hambal (164-241 H).
? Ishaq ibn Rahawaih (151-238 H).
? Usman ibn Abi Syaibah (156-239 H).
Musnad Ahmad ibn Hambal dinilai oleh ulama hadis sebagai kitab Musnad yang paling komprehensif.
c.       Kitab-kitab Shahih dam al-jami’ (abad 3-4 H)
Kendati teknik isnad telah diterapkan dalam kitab-kitab hadis sebagai disebut di muka, namun target pemilahan antara hadis yang shahih dari yang dhaif belum tercapai, sehingga orang yang bermaksud berhujjah dengan hadis-hadis shahih mengalami kesulitan. Padahal dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam dan semakin banyaknya persoalan baru yang muncul  seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan terhadap hadis shahih sebagai hujjah terasa semakin meningkat pula. Untuk membedakan hadis yang shahih dari yang dhaif dibutuhkan kriteria tertentu. Di kalangan ulama hadis disepakati bahwa hadis shahih itu harus memenuhi persyaratan sebagai berikut. Bersambung sanadnya, periwayatnya adil dan dhabith, hadis itu tidak syadz , dan tidak mu’alal. Karenanya, kemudian muncul upaya pembukuan hadis khusus yang shahih saja.
Ulama yang disebut-sebut sebagai pelopor menyusun kitab hadis dengan metode ideal, yang menyatakan bahwa hanya hadis shahih saja yang dimuat di dalam kitabnya adalah Imam Muhammad ibn Ismail al-Bukhari (194-256 H). Metode penyusunan ini kemudian diikuti oleh muridnya, Imam Muslim (204-261 H). Kitab lain yang disusun berdasarkan persyaratan shahih al-Bukhari maupun Muslim antara lain, Shahih Abu ‘Awanah, Shahih Ibn Khuzaimah (w. 311

H), Shahih ibn Hibban (w. 254). Baik karya Ibn Khuzaimah maupun Ibn Hibban, keduanya dinilai lebih baik dibanding kitab al-Mustadrak yang disusun oleh Imam Al-Hakim.
Dalam pada itu berfikir pula oleh para ulama hadis dalam menyusun kitab agar di dalamnya dicakup berbagai topik. Kemampuan mencakup inilah yang disebut al-Jami’. Maka, kitab Shahih al-Bukhari itu diberi nama “al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar..” Kitab al-Jami’ memuat tidak kurang dari 8 topik; al-Aqidah, al-Ahkam, al-Raqaq, adab al-Tha’am wa al- syarab, al-Tafsir, al- Tarikh wa al-Siyar, al-Qiyam wa al-Qu’ud, al-fitan, al-Manaqib wa al-Mathalib.
d.      Kitab-kitab Sunan (abad ke-3 – 4 H)
Tampaknya era penyusunan kitab-kitab Shahih merupakan puncak penyusunan kitab hadis dari segi akurasi periwayatan. Sesudah itu, muncul gerakan penulisan hadis kitab Sunan, yang di dalamnya tidak hanya memuat hadis-hadis shahih, tetapi masuk juga di dalamnya, hadis-hadis dha’if. Bahkan, kendati hadis itu dicamtumkan di dalam kitab Sunan, tetapi juga diberi komentar bahwa hadis ini dha’if. Ada empat ulama yang terkenal di kalangan ulama hadis menulis kitab sunan yaitu;
? Abu Daud, Sulaiman ibn al-Asy’ats ibn Ishaq al-Azdi al-Sijistani (202-275 H).
? al-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Surah (209-279 H). Kalau tadinya hadis itu dibagi menjadi Shahih dan Dha’if, maka, Imam inilah yang menegaskan pembagian hadis menjadi tiga, Shahih, Hasan, Dha’if.
? An-Nasai, Abu Abdirrahman Ahmad ibn Syu’aib ibn ‘Ali al-khurasani (215-303 H).
? Ibn Majah, Abu ‘Abdillah, Muhammad ibn Yazid al-Qazwaini (209-273 H).
Kitab yang disusun oleh empat orang ulama ini disebut juga dengan al-jami’.

e.      Kitab al-Mustadrak (abad ke-4 H)
Al-mustadrak adalah jenis kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis shahih yang tidak diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis shahih lain, dan hadis-hadis shahih yang ditinggalkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Dalam memasukkan hadis ke dalam kitab tersebut, penulisnya menerapkan persyaratan keshahihan yang digunakan oleh al-Bukhari atau Muslim. Menurut bahasa, al-Mustadrak mengandung arti berkenaan dengan temuan. Agaknya, ia disebut al-mustadrak karena penulisnya  menemukan hadis yang “amat berharga” karena keshahihannya, tetapi tidak sempat diliput oleh al-Bukhari dan Muslim. Kitab yang terkenal jenis ini adalah;
? al-Mustadrak karya al-Imam al-Hakim al-Naisaburi.
? al-Mustadrak karya Abu Dzar al-Harawi.
? al-Ilzamat karya al-Daruquthni.
f.        Kitab al-Mustakhraj (abad ke-4 H)
Al-Mustakhraj adalah jenis kitab yang disusun dengan mengambil hadis-hadis dari kitab tertentu, tetapi, jalur sanad yang diambil oleh penyusunnya berbeda dari jalur sanad yang ditempuh oleh kitab hadis tersebut. Penyusun al-Mustakhraj menempuh sanad lewat gurunya, dan ternyata, guru tadi memiliki sanad yang sama dengan sanad guru penyusun kitab yang ditakhrij; atau kedua guru tersebut bertemu sanad pada periwayat di atasnya. Dengan demikian, ditemukanlah sanad baru pada lapisan periwayat tertentu untuk sebuah hadis yang sama. Yang termasuk kitab jenis al-mustakhraj antara lain;
? Al-Mustakhraj al-Ismail ‘Alal al-Bukhari.
? Al-Mustakhraj Abu ‘Awanah ‘Ala Muslim.
? Al-Mustakhraj Abu ‘Ali al-Tusi ‘Ala al-Tirmidzi.
? Al-Mustakhraj Muhammad ibn Malik ibn al-Iman ‘Ala Sunan Abu Dawud.

Kitab-kitab tersebut ditulis pada kurun waktu setelah masuk abad ke-4 H. Dengan ditemukannya sanad jalur lain semacam ini maka menjadi semakin kuatlah kedudukan hadis yang ditakhrij tadi. Dengan cara seperti ini, kemungkinan besar sebuah hadis yang semula tidak shahih, bisa naik derajatnya menjadi hadis shahih.
Kitab-kitab yang terkenal Produk abad ke-4 – 5 H. Antara lain;
? al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausath dan al-Mu’jam al-Shaghir, semuanya karya al-Thabrani.
? al-Mustadrak karya al-Hakim.
? al-Shahih karya Ibn Khuzaimah.
? al-Sunan karya al-Daruquthni.
? al-Taqsim wa al-Anwa’ karya Ibn Hibban.












PENUTUP
A.     KESIMPULAN
1.      orang yang pertama membukukan hadis adalah Ibn Syihab al-Zuhri atas perintah Umar bin Abd al-Aziz yang di prakarsai oleh penguasa (Khalifah atau Gubernur).
2.      Kitab-kitab yang sudah dikodifikasi sejak abad ke-2 - 4;
a.       Al-Mushannaf (abad ke-2 H).
b.      Al-Musnad (abad ke-2 – 3 H).
c.       Kitab-kitab Shahih dam al-jami’ (abad 3-4 H).
d.      Kitab-kitab Sunan (abad ke-3 – 4 H).
e.       Kitab al-Mustadrak (abad ke-4 H).
f.        Kitab al-Mustakhraj (abad ke-4 H).
B.     Saran
Dengan makalah ini dapat membantu dalam proses belajar mengajar mata kuliah ulumul hadits.









DAFTAR PUSTAKA
Itr Nurdin. 1995. Ulumul Al-Hadits 1. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Zuhri Muh. 2003. Hadis Nabi: Telaah History dan Metodologis. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar